
“Lantas, apakah ini akan sejalan dengan proses transisi masa depan ke Green Energy?”
Penulis: Valen Para’bung
Orang mana yang tidak tahu Raja Ampat? Lebih dari 1.500 spesies ikan dan 600 jenis karang hidup di surga laut yang indah di ujung timur Indonesia. Tidak mengherankan bahwa Raja Ampat dianggap sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia (CI Indonesia, 2023).
Sekarang surga itu dikepung oleh aktivitas pertambangan nikel. Beberapa daerah di sekitar Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Pulau Manuran, Pulau Batang Pele, Pulau Kawe, dan Pulau Waigeo, menjadi sasaran eksplorasi nikel. Selain itu, izin usaha pertambangan telah diberikan, dan lahan hutan mulai dibuka. Ironisnya, transisi global menuju energi hijau membutuhkan nikel sebagai salah satu bahan bakunya. Apakah merusak laut, menggali tanah, dan menghancurkan hutan termasuk dalam kategori “hijau”? Apakah ini akan sejalan dengan transformasi ke arah energi hijau di masa depan?
Apakah kehancuran keanekaragaman hayati Raja Ampat merupakan konsekuensi yang layak dari transisi energi hijau yang sedang dicari dunia ?
Jika kendaraan listrik berasal dari tambang yang merusak hutan tropis seperti Raja Ampat, apakah kita akan menyebutnya sebagai “ramah lingkungan”?
- Keanekaragaman Hayati Raja Ampat:
Raja Ampat adalah bagian dari Coral Triangle, wilayah laut dengan keanekaragaman hayati terbanyak di dunia. Menurut The Nature Conservancy (2023), wilayah ini menyimpan : 553 spesies karang keras, yang merupakan 75% dari jenis karang di dunia, lebih dari 1.500 jenis ikan karang yang ada di dunia dan ekosistem pesisir dan laut yang terdiri dari laguna karang, padang lamun, dan mangrove. Keanekaragaman hayati ini sangat penting untuk stabilitas iklim laut global dan Papua secara keseluruhan, karena ekosistemnya menyimpan banyak karbon dan menjaga keseimbangan rantai makanan laut.
- Transisi Energi dan permintaan Nikel:
International Energy Agency (IEA, 2021) menyatakan bahwa, sebagai akibat dari peningkatan produksi kendaraan listrik, permintaan nikel di seluruh dunia akan meningkat 19 kali lipat hingga tahun 2040. Dengan cadangan nikel-nikel terbesar di dunia, Indonesia kini menjadi perhatian industri global. Menurut Kementerian ESDM (2022), wilayah Papua Barat termasuk dalam wilayah yang dapat menghasilkan nikel. Meskipun tidak seluruh wilayah ditambang, beberapa perusahaan telah menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi, terutama di Sorong, Maybrat, dan Tambrauw, yang masih terhubung dengan perairan Raja Ampat secara ekologis.
- Dampak Tambang Nikel terhadap Ekosistem:
Penambangan nikel terbuka, memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan.
- Penggundulan hutan primer terjadi ketika jalur akses dan lokasi tambang dibuka, yang menghancurkan habitat satwa dan sumber pangan masyarakat adat (Daryono, Sarosa, & Ubaidillah, 2023).
- Pencemaran air: Limbah tambang mengandung logam berat, yang dapat mencemari sungai dan laut dan mengganggu manusia dan biota laut (Syarifuddin, 2022).
- Sedimentasi laut: Endapan tanah yang dihasilkan dari tambang dapat terbawa ke laut, menutupi terumbu karang, dan mencegah alga berfotosintesis , yang merupakan sumber makanan utama ikan (Amalia, Dandi, & Wahyuningsih, (2024).
Apakah ini yang kita maksud dengan istilah “energi hijau”?
Memang penting untuk menuju energi hijau, tetapi transformasi ini tidak boleh merusak lingkungan lain. Penulis berpendapat bahwa dalam konteks Raja Ampat, ekspansi tambang nikel sangat berisiko dan bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
- Ironi Energi Hijau: Energi hijau seharusnya menyelamatkan Bumi, tetapi jika bahan bakunya berasal dari sinkronisasi hutan tropis, rumah masyarakat adat, dan polusi laut, istilah “hijau” menjadi ironi. Kasus Pulau Obi di Halmahera Selatan dapat dibandingkan. Tambang nikel menyebabkan konflik sosial, pencemaran laut, dan kerusakan ekologis (Yusuf & Amalia, 2024). Apakah Raja Ampat ingin memiliki pengalaman yang sama?
- Masyarakat Adat dan Ketimpangan Pembangunan di Wilayah Raja Ampat dan sekitarnya. Masyarakat adat memiliki kepercayaan lokal dalam menjaga hutan dan laut. Seringkali masyarakat ini tidak terlibat dalam proses perizinan penambangan. Namun PP No. 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan partisipasi masyarakat tepatnya pada pasal 28.
- Alternatif Ekowisata dan Pemberdayaan Lokal: Raja Ampat seharusnya dikembangkan sebagai model ekowisata berkelanjutan daripada mengejar penambangan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Menurut Yanti dan Leiwakabessy, (2023) menyatakan bahwa wisata alam yang berbasis komunitas dapat melindungi alam sekaligus meningkatkan ekonomi lokal. Ekowisata memperkuat ketahanan lingkungan, mempertahankan kearifan lokal, dan menghasilkan pendapatan jangka panjang.
Kesimpulan
Aktivitas pertambangan nikel telah mengancam keanekaragaman hayati Raja Ampat. Ironisnya, tambang ini merusak hutan, mencemari laut, dan mengabaikan peran masyarakat adat dalam transisi energi hijau. Solusi yang lebih berkelanjutan dan adil bagi alam dan masyarakat adalah ekowisata berbasis komunitas; transformasi menuju energi hijau seharusnya tidak mengorbankan lingkungan lain. Karena itu, menyelamatkan Raja Ampat adalah keharusan untuk transisi energi yang ramah lingkungan dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Jika pertanyaan ini “Lantas, apakah ini akan sejalan dengan proses transisi masa depan ke Green Energy?” jawabannya adalah “tidak”, maka kita harus bertindak untuk menentang perluasan tambang di kawasan penyangga Raja Ampat melalui kebijakan, kampanye publik, dan tindakan nyata. #SaveRajaAmpat bukan sekedar slogan, tapi bentuk kampanye moral untuk menyelamatkan Keanekaragaman Hayati yang masih ada. Jangan sampai kita hanya bisa menunjuk ke gambar dan berkata, “Dulu, tempat ini pernah ada.”
Daftar Pustaka
Amalia, K., Dandi, S., & Wahyuningsih, Y. (2024). Kebijakan Lingkungan Terhadap Permasalahan Tambang Pasir di Moro Kepulauan Riau Yang Berdampak Pada Lingkungan Masyarakat Moro. Public Knowledge, 1(2), 139-157.
CI Indonesia. (2023). Biodiversity of Raja Ampat. Diakses 8 Juni 2025, dari https://www.conservation.org/indonesia/rajaampat
Daryono, B. S., Sarosa, W., Ubaidillah, R., Widyatmoko, D., Purnomo, D. W., Djohan, T. S., & Setyawati, T. (2023). Pembangunan Berkelanjutan di Ibu Kota Negara Nusantara Perspektif Biologi. Ugm Press.
International Energy Agency (IEA). (2021). The Role of Critical Minerals in Clean Energy Transitions. Diakses 8 Juni 2025, dari https://www.iea.org
Kementerian ESDM. (2022). Peta Potensi Nikel Indonesia. Diakses 8 Juni 2025, dari https://www.esdm.go.id
Syarifuddin, N. (2022). Pengaruh industri pertambangan nikel terhadap kondisi lingkungan maritim di Kabupaten Morowali. Jurnal Riset & Teknologi Terapan Kemaritiman, 1(2), 19-23.
Yanti, D. I. W., & Leiwakabessy, I. M. (2023). Community-Based Mangrove Ecotourism On Jeflio Island, Mayamuk District, Sorong District, Southwest Papua. Median: Jurnal Ilmu Ilmu Eksakta, 15(3), 109–118.
Yusuf, J. H., & Amalia, R. (2024). Politik Ekologi dan Ekonomi Pertambangan di Maluku Utara. Jurnal GeoCivic, 7(1), 1-13.