
Penulis: Nurul Ilmy
Setiap hari, layar ponsel kita dipenuhi dengan gambar dan video anak-anak yang tertimbun puing-puing bangunan, reruntuhan batu, bom yang meledak dimana-mana, teriakan dan jeritan sang ibu, ayah bahkan seorang anak yang meratap di atas jenazah keluarganya, dan langit Gaza yang tak pernah benar-benar biru. Kita menatapnya, menghela napas, lalu melanjutkan hidup. Di tengah genosida yang berlangsung tanpa henti, empati kita perlahan berubah menjadi luka terluka karena peduli, tapi tak berdaya, compassion fatigue. Compassion fatigue merupakan kelelahan emosional yang muncul ketika rasa kemanusiaan kita terus-menerus diuji, hingga akhirnya membeku. Informasi genosida seakan sudah menjadi hal biasa untuk kita, di tengah reruntuhan dan jeritan yang tak pernah berhenti, bantuan kemanusiaan pun tertahan di perbatasan. Truk-truk berisi makanan, obat-obatan, dan air bersih dibiarkan berkarat di bawah terik matahari, dicegah masuk oleh tangan-tangan yang mengklaim keamanan sebagai alasan. Ini bukan sekadar blokade; ini adalah humanitarian strangulation pengepungan yang mencekik kehidupan dari dalam, perlahan tapi pasti. Ketika anak-anak Gaza kelaparan dan rumah sakit kehabisan listrik, dunia menyaksikan… lalu melupakan. Kita terbiasa melihat penderitaan, hingga rasa peduli berubah menjadi kebiasaan pasif. Kita tidak lagi menangis, kita hanya mengangguk dan berkata, “Itu sudah biasa, kita harus bagaimana? apa yang bisa kita lakukan? bantuan apa lagi yang harus kita berikan? kita hanya bisa berdoa” Tapi apakah kebiasaan itu membenarkan diam kita? Apakah empati yang tidak lagi bergerak masih bisa disebut hidup? Seakan kita sudah pasrah dengan keadaan yang terjadi, kita seakan tidak peduli, bagaimana dan seperti apa keadaan meraka disana, syuhadah yang sudah berguguran di medan perang, dokter yang di bunuh dengan membabi buta, anak-anak yang tidak dibiarkan sekolah, bayi yang baru saja lahir harus melanjutkan hidup tanpa sosok orang tua.
Gaza bukan sekadar tempat. Ia adalah simbol dari penderitaan yang terus diulang, dari jeritan yang tak didengar, dari dunia yang sibuk tapi tak tersentuh. Kita berkata, اللهم انصر أهaل غزة —Ya Allah, tolonglah rakyat Gaza. Tapi di balik doa itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: هل ما زال في القلب حياة؟
Compassion fatigue bukan sekadar kelelahan biasa. Ia adalah kondisi psikologis ketika empati yang terus-menerus diberikan kepada korban penderitaan berubah menjadi keletihan emosional, kebingungan moral, bahkan kebekuan hati, (Cavanagh, 2020). Awalnya, kita menangis melihat Gaza. Kita membagikan berita, menulis doa, dan merasa marah. Tapi seiring waktu, ketika tragedi tak kunjung berhenti dan dunia tetap tak berubah, rasa peduli itu mulai menumpuk menjadi beban. Kita merasa tak berdaya, lalu perlahan memilih diam. Dalam psikologi, ini disebut sebagai fatigue of empathy —ketika rasa kemanusiaan kita kehabisan tenaga, bukan karena kita tidak peduli, tapi karena kita terlalu sering peduli tanpa hasil. Gaza menjadi luka yang terus terbuka, dan kita menjadi saksi yang kelelahan.
Kita hidup di era di mana tragedi datang dalam bentuk notifikasi. Satu swipe memperlihatkan anak-anak yang tertimbun puing, satu klik membawa kita ke video serangan udara, dan satu scroll kemudian kita sudah tertawa melihat meme. Inilah wajah desensitisasi: ketika kekerasan menjadi latar belakang dari rutinitas digital kita. Gaza muncul di layar, lalu menghilang di antara iklan dan hiburan. Kita tidak lagi terkejut, tidak lagi terguncang—karena kita sudah terlalu sering melihatnya. Dalam psikologi, ini disebut sebagai emotional numbing, kondisi di mana otak kita mulai mematikan respons emosional sebagai mekanisme pertahanan (Sanjiwani, Sari dan Anggreni, 2023). Tapi pertanyaannya bukan hanya tentang bagaimana kita bereaksi, melainkan: kenapa kita berhenti bereaksi? Ketika penderitaan menjadi biasa, maka kemanusiaan mulai kehilangan maknanya.
Gaza bukan sekadar wilayah kecil yang terkepung. Ia adalah simbol dari luka yang terus dibuka di hadapan dunia, namun jarang benar-benar dilihat. Di balik angka korban dan statistik serangan, ada wajah-wajah yang tak pernah kita kenal, suara-suara yang tak pernah kita dengar. Mereka bukan hanya korban perang, tapi korban dari ketidakpedulian global. Gaza menjadi cermin bagi nurani dunia—seberapa dalam kita mampu merasakan, dan seberapa cepat kita memilih melupakan. Ketika anak-anak di sana belajar mengenali suara drone lebih cepat daripada alfabet, kita harus bertanya: apakah ini hanya tragedi lokal, atau kegagalan moral umat manusia? Gaza adalah luka yang tidak hanya milik Palestina, tapi milik kita semua yang pernah merasa peduli, lalu membiarkannya membeku.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 58.000 warga Palestina telah terbunuh di Jalur Gaza akibat serangan Israel. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan, yang seharusnya menjadi kelompok paling dilindungi dalam konflik. Bahkan menurut studi independen, angka kematian bisa mencapai 84.000 jiwa, dengan ribuan lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan⁽²⁾. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah nyawa, mimpi, dan keluarga yang hancur. Ketika angka-angka ini muncul di layar, kita cenderung mengangguk, merasa sedih sejenak, lalu kembali ke rutinitas. Tapi Gaza tidak punya kemewahan untuk melupakan. Mereka hidup dalam genosida yang berlangsung setiap hari, sementara dunia mengalami compassion fatigue —kelelahan empati yang membuat kita merasa peduli, tapi tak lagi bergerak. Maka pertanyaannya kembali bergema: هل ما زال في القلب حياة؟
Dunia mungkin telah lelah, tapi Gaza belum menyerah. Di tengah reruntuhan, mereka tetap berdoa. Di bawah langit yang dipenuhi asap, mereka tetap berharap. Dan di antara kematian, mereka tetap hidup. Kita yang jauh dari sana mungkin tak bisa menghentikan bom, membuka perbatasan, atau menyembuhkan luka. Tapi kita bisa menjaga agar hati kita tetap hidup. Kita bisa memilih untuk tidak mati rasa. Kita bisa menolak untuk menjadikan tragedi sebagai latar belakang yang sunyi. Empati bukan hanya tentang merasa, tapi tentang bertindak—meski kecil, meski dari jauh.
Daftar Pustaka
Cavanagh, N., Cockett, G., Heinrich, C., Doig, L., Fiest, K., Guichon, JR, … & Doig, CJ (2020). Kelelahan karena belas kasih pada tenaga kesehatan: Tinjauan sistematis dan meta-analisis. Etika keperawatan , 27 (3), 639-665.
Sanjiwani, A. A. S., Sari, N. L. K. R., & Anggreni, N. W. Y. (2023). Pendekatan Mindfulness Dalam Menjaga Kesehatan Mental. Penerbit NEM.