
Penulis: Muhammad Iqram
Pendahuluan
Pada era pendidikan modern, tekanan untuk selalu tampil baik di depan orang lain seperti guru, teman, dan orang tua semakin meningkat (Barseli & Ifdhil, 2017). Banyak siswa yang termotivasi bukan untuk belajar karena keingintahuan, tetapi untuk memperoleh penerimaan sosial, fenomena ini dikenal sebagai syndrome people pleaser. People pleasing adalah perilaku menyenangkan orang lain untuk menghindari konflik atau penolakan, bahkan jika itu tidak sesuai dengan keinginan sendiri (Zalika & Nisa, 2024). Dalam konteks pendidikan, perilaku ini kerap muncul ketika nilai, penghargaan, atau pengakuan lebih dihargai daripada pembelajaran intrinsik.
Berdasarkan teori Self-Worth Motivation, siswa terdorong untuk menjaga harga diri akademik mereka. Mereka belajar keras untuk mempertahankan citra “pintar” agar tidak dianggap gagal. Hal ini menyebabkan munculnya motivasi ekstrinsik terkontrol belajar demi pujian dan validasi bukan dorongan dari dalam diri sesuai (Covington, 1984 dalam Xing, et al., 2018). Adaptasi lebih lanjut berdasarkan teori self-determination menyatakan bahwa tiga kebutuhan dasar otonomi, kompetensi, dan keterhubungan harus terpenuhi. Bila siswa hanya termotivasi untuk dipuji atau disukai (keterhubungan), tetapi otonomi dan kompetensi tidak dipenuhi, mereka rentan mengalami stres, kecemasan, dan bahkan burnout akademik (Zupancic, et al., 2023). Hal ini menjadikan proses belajar tidak lagi menjadi pengalaman yang bermakna secara pribadi, melainkan berubah menjadi upaya memenuhi ekspektasi eksternal yang justru dapat melemahkan kesejahteraan psikologis siswa.
Beberapa penelitian empiris sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir menggambarkan bagaimana perilaku people pleaser muncul pada siswa dan berdampak negatif terhadap kesehatan mental maupun kesejahteraan psikologis. Misalnya, Penelitian yang dilakukan oleh Sari & Komarudin (2024), menemukan bahwa mahasiswa yang cenderung bersikap people pleaser mengalami tingkat stres, kecemasan, bahkan depresi jika tidak memiliki strategi koping yang tepat, namun dengan strategi koping yang baik, mereka menunjukkan ketahanan psikologis lebih tinggi. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Burma, et al., (2025) melalui kajian literatur menyimpulkan bahwa siswa SMA yang bersifat menyenangkan orang lain sering kali kesulitan menolak permintaan, takut ditolak, selalu mencari persetujuan sosial, dan rentan mengalami masalah kesehatan mental seperti stres dan rendahnya harga diri. Kedua penelitian tersebut, menyampaikan bahwa people pleasing bukan sekadar perilaku sosial yang ringan, melainkan cenderung mencerminkan tekanan psikologis mendalam dan berpotensi menurunkan kesejahteraan mental siswa bila tidak ditangani secara tepat.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena people pleaser dalam dunia pendidikan bukanlah hal sepele, melainkan kondisi psikologis yang kompleks dan berpotensi menghambat perkembangan belajar siswa secara sehat. Perilaku ini membuat siswa belajar bukan karena dorongan pribadi, melainkan demi memenuhi ekspektasi orang lain yang justru dapat mengikis makna belajar itu sendiri. Oleh karena itu, artikel ini ditulis dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana sindrom people pleaser terbentuk dalam konteks pendidikan, dampaknya terhadap kesejahteraan psikologis siswa, serta pentingnya dukungan dari guru, orang tua, dan lingkungan sekolah dalam membangun motivasi belajar yang sehat dan seimbang.
People pleaser adalah individu yang cenderung melakukan berbagai hal demi menyenangkan orang lain, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan dirinya sendiri. Padahal, kenyataannya tidak selalu sejalan dengan apa yang sebenarnya ia rasakan atau pikirkan (Manulang, 2025). Pengertian lainnya dari people pleaser adalahindividu yang lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri. Perilaku ini merupakan kondisi yang kompleks dan sering kali menimbulkan tantangan besar dalam kehidupan seseorang. Salah satu dampak utamanya adalah kesulitan individu dalam meraih tujuan pribadi, baik dalam aspek kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan karier (Alfahmi, et al., 2024).
Seorang people pleaser juga berhubungan dengan gangguan kepribadian avoidant personality disorder, sehingga mereka memiliki beberapa ciri yang sama dengan gangguan kepribadian tersebut. Menurut Alfahmi, et al., (2024) ciri-ciri dari seorang people pleaser, yaitu:
- Memiliki ketakutan menerima kritik atau teguran dalam situasi sosial
- Menganggap diri lebih rendah dari orang lain sehingga memunculkan rasa insecure.
- Selalu menghindari pekerjaan yang melibatkan banyak orang
- Merasa sulit untuk menolak permintaan orang lain padahal dirinya kesusahan
- Menuruti hal-hal yang sebenarnya tidak membuat bahagia hanya untuk menghindari konflik.
- Enggan menyuarakan kebutuhan sendiri, mungkin bilang baik-baik saja padahal sebenarnya tidak
- Menghindari tidak setuju dengan orang lain atau menyampaikan pendapat yang jujur
Kemudian, contoh perilaku people pleaser menurut Alfahmi, et al., (2024), yaitu bersedia melakukan hal apa pun untuk menyenangkan dan memenuhi ekspektasi orang lain tanpa memikirkan konsekuensi dan risiko yang dapat merugikan dirinya atas perilakunya tersebut. Mereka juga sering kali mengorbankan kepentingan pribadi dan tidak dapat menolak apa pun demi memenuhi segala harapan yang diberikan untuk dirinya, tanpa memikirkan dirinya sanggup atau tidak, dampak apa yang akan datang kepadanya, dan kerugian apa yang akan menimpa dirinya.
Para people pleaser merasa bahwa untuk disukai orang lain, mereka harus selalu siap memenuhi kebutuhan orang lain dan membantu tanpa henti. Mereka juga berpikir, jika mereka memberikan dukungan tak terbatas, mereka akan dianggap berharga dan dapat disukai. Mereka meyakini dengan melakukan hal tersebut mereka tidak akan ditinggalkan, tetapi mereka lupa bahwa hal tersebut dapat menjadi tekanan bagi dirinya. Mereka juga cenderung melakukan segala cara untuk memenuhi keinginan orang lain hanya demi “terlihat” dan dianggap ada oleh orang lain.
Berangkat dari uraian tersebut, bila dikaitkan dengan dunia pendidikan saat ini, sindrom people pleaser dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan proses pembentukan karakter siswa. Ketika siswa lebih fokus untuk menyenangkan orang lain seperti guru, teman, atau orang tua mereka cenderung menekan perasaan dan kebutuhan pribadinya. Akibatnya, mereka sulit untuk mengenali potensi diri, membangun identitas, dan mengembangkan pemikiran kritis secara optimal.
Perilaku people pleaser di dunia pendidikan merupakan perilaku yang tampak sebagai kecenderungan siswa untuk selalu menyenangkan orang lain dengan mengutamakan kebutuhan dan harapan teman sebaya serta guru di atas kebutuhan pribadi (Sa’idah, et al., 2025). Perilaku ini sering kali membuat siswa merasa tertekan karena terus berusaha memenuhi ekspektasi orang lain tanpa memedulikan batas kemampuan dirinya. Akibatnya, mereka rentan mengalami stres, kehilangan jati diri, dan sulit mengambil keputusan secara mandiri dalam proses belajar.
Hasil penelitian yang dilakukan Sa’idah, et al., (2025), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku people pleaser yaitu:
- Tekanan sosial dari teman sebaya (Faktor sosial)
Tekanan sosial dari teman sebaya menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi terbentuknya perilaku people pleaser, khususnya di kalangan remaja dan siswa. Dalam lingkungan pendidikan, siswa cenderung ingin diterima dan dianggap sebagai bagian dari kelompok pertemanan, sehingga mereka bersedia melakukan berbagai hal untuk menyenangkan teman-temannya. Tindakan ini sering kali dilakukan meskipun bertentangan dengan prinsip atau kenyamanan pribadi, karena adanya kebutuhan untuk merasa diterima dan tidak ingin dikucilkan secara sosial. Tekanan sosial ini kemudian membentuk pola perilaku yang terus-menerus berorientasi pada keinginan orang lain.
- Ketakutan terhadap penolakan sosial (Faktor psikologis)
Ketakutan terhadap penolakan sosial merupakan dorongan psikologis yang kuat di balik perilaku people pleaser. Seseorang yang memiliki rasa takut akan ditolak, diabaikan, atau tidak disukai oleh orang lain, akan cenderung mengorbankan kebutuhannya sendiri demi mendapatkan penerimaan sosial. Dalam konteks dunia pendidikan, siswa yang mengalami kecemasan sosial atau memiliki harga diri yang rendah kerap kali menunjukkan sikap menuruti semua permintaan atau ekspektasi dari guru maupun teman sekelasnya. Ketakutan ini membuat mereka merasa harus terus bersikap menyenangkan agar tidak kehilangan relasi atau dianggap negatif oleh lingkungan sosialnya.
Secara keseluruhan, temuan penelitian dari Alfahmi, et al., (2025) mengindikasikan bahwa perilaku people pleaser pada siswa merupakan fenomena yang kompleks, dipengaruhi oleh interaksi faktor sosial dan psikologis. Perilaku ini berfungsi sebagai strategi adaptif dalam menghadapi tekanan sosial, namun jika tidak diimbangi dengan keterampilan sosial yang memadai dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perkembangan psikososial dan akademik siswa.
Perilaku people pleaser dalam dunia pendidikan merupakan fenomena yang semakin tampak, terutama di kalangan siswa yang berada pada masa perkembangan sosial dan emosional. Penulis memandang bahwa sindrom ini muncul akibat adanya tekanan dari lingkungan sekitar baik guru, teman sebaya, maupun keluarga yang secara tidak langsung membentuk standar penerimaan sosial yang tinggi. Ketika siswa merasa bahwa penerimaan dan pengakuan hanya dapat diperoleh melalui kepatuhan dan pemenuhan ekspektasi orang lain, maka mereka mulai mengabaikan kebutuhan pribadi demi menjaga citra diri yang disukai. Hal ini diperkuat oleh teori Cavinton (1984), dalam Xing, et al., (2018) mengenai konsep harga diri yang berkaitan dengan pencapaian dan pengakuan dari orang lain sebagai faktor penting dalam motivasi siswa untuk menunjukkan perilaku menyenangkan.
Pandangan penulis ini juga dapat dikritisi dari perspektif pendidikan humanistik yang menekankan pentingnya pertumbuhan pribadi dan keautentikan individu dalam belajar. Dalam pendekatan humanistik seperti yang teori Carl Rogers dalam penelitian Arofaturrohman, et al., (2023), mengemukakan bahwa pendidikan seharusnya membentuk individu yang otentik, berani menyuarakan pendapat, dan mampu membuat keputusan yang berpihak pada kesejahteraan dirinya. Jika sindrom people pleaser terus dibiarkan berkembang dalam ruang pendidikan, maka pendidikan gagal membentuk karakter yang mandiri dan tangguh secara psikologis. Oleh karena itu, penting bagi guru dan sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang sehat secara emosional, yang mendukung kebebasan berekspresi dan penghargaan terhadap identitas diri siswa, tanpa harus menuntut kesempurnaan sosial dari mereka.
Kesimpulan
Sindrom people pleaser dalam dunia pendidikan merupakan fenomena psikologis dan sosial yang dapat mengganggu perkembangan pribadi dan proses belajar siswa secara menyeluruh. Siswa yang terdorong untuk selalu menyenangkan orang lain cenderung mengabaikan kebutuhan, batasan, dan potensi dirinya sendiri, yang pada akhirnya dapat menyebabkan stres, kehilangan jati diri, dan penurunan motivasi belajar intrinsik. Secara teoritis, perilaku ini dapat dijelaskan melalui pendekatan Self-Worth Theory yang menekankan pentingnya pengakuan dalam menjaga harga diri siswa, serta pendekatan humanistik yang menggarisbawahi pentingnya keaslian dan kebebasan diri dalam proses belajar. Praktiknya, jika tidak ada intervensi yang tepat dari pendidik, orang tua, maupun lingkungan sekolah, perilaku ini dapat berkembang menjadi pola yang merugikan kesejahteraan psikologis siswa dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang suportif, empatik, dan menghargai keunikan individu agar siswa dapat berkembang secara optimal tanpa perlu mengorbankan dirinya demi diterima oleh orang lain.
Daftar Pustaka
Alfahmi, R.R., Fateha, S.R., Syarifatulmillah, W.P., Lestari, F., & Hamidah, S. (2024). Kajian mendalam mengenai people pleaser dan dampak psikologis pada pelakunya. Jurnal Psikologi, 1(24), 1-16.
Arofaturrohman, Y.A., Alqudsi, Z., & Fauziati, E. (2023). Implementasi Teori Belajar Humanisme dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Perspektif Carl Rogers. Jurnal penelitian Guru Indonesia, 3(1), 140-147.
Barseli, M., & Ifdil, I. (2017). Konsep Stres Akademik Siswa. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 5(3), 143-148.
Manullang, E. G. P. (2025). Perancangan Buku Ilustrasi Mengatasi People Pleaser dalam Dunia Kerja.Doctoral dissertation, UPN Veteran Jawa Timur.
Nurma, U.S., Sukma., & Nurhayani. (2024). Kajian Literatur Dampak People Pleaser Terhadap Kesehatan Mental Siswa Menengah Keatas. International Seminar of Islamic Counseling and Education Series, 1(1), 160-169.
Sa’idah, I., Annajih, M.Z.H., & Misnawi. (2025). Memahami Kecenderungan People Pleaser Pada Remaja: Studi Kasus Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Bimbingan dan Konseling, 2(1), 1-9.
Sari, D.P., & Komaruddin, K. (2024). The Relationship Between Coping Strategies and Resilience for Students with People Pleaser Tendency. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, 5(9), 3360-3368.
Xing, S., Gao, X., Jiang, Y., Archer, M., & Liu, X. (2018). Effects of Ability and Effort Praise on Children’s Failure Attribution, Self-Handicapping, and Performance. Frontiers in Psychology, 9(18), 1883.
Zalika, F.R., & Nisa, A.T. (2024). Hubungan Self Boundaries Terhadap Perilaku People Pleaser pada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta. Al-Hiwar: Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, 12(2), 15-25.
Zupancic, N., Palanovic, A., Ruzojcic, M., Bostjancic, E., Popov, B., Jelic, D., & Galic, Z. (2023). Differential influence of basic psychological needs on burnout and academic achievement in three southeast European countries. International Journall of Psychology, 59(2), 288-302.