
Penulis: Whennie Youngger Oeitama
Pendidikan idealnya menjadi ruang yang aman bagi setiap individu, tidak hanya dalam aspek akademik, tetapi juga secara fisik, psikologis, dan sosial. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya (Fauzi & Mesra, 2024). Fenomena kekerasan seksual yang terjadi di berbagai jenjang pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi mencederai esensi pendidikan itu sendiri. Ironisnya, banyak kasus kekerasan seksual justru melibatkan pelaku dari internal institusi pendidikan, seperti guru, dosen, pembimbing akademik, hingga senior organisasi kemahasiswaan (Prameswara & Firmansyah, 2023). Tulisan ini bertujuan untuk mengulas akar persoalan mengapa dunia pendidikan gagal menjadi ruang aman dari kekerasan seksual, mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta merumuskan langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang komprehensif.
Kekerasan seksual di dunia pendidikan bukanlah isu terisolasi, melainkan bagian dari persoalan sistemik yang dipengaruhi oleh budaya patriarki dan konstruksi gender yang timpang. Budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pihak superior dan perempuan sebagai pihak pasif menciptakan ruang yang memungkinkan kekerasan terjadi dan berulang (Rahmasari, 2022). Dalam konteks ini, ketimpangan kuasa menjadi landasan yang memungkinkan terjadinya dominasi dan pelecehan terhadap pihak yang lebih lemah.
Berbagai kasus nyata menunjukkan bahwa kekerasan seksual merupakan persoalan serius di institusi pendidikan. Di Makassar, seorang guru diduga melakukan kekerasan seksual terhadap siswi sejak duduk di bangku SD hingga SMP (CNN Indonesia, 2024). Seorang dosen Universitas Hasanuddin juga dilaporkan atas dugaan pelecehan terhadap mahasiswinya (Rachmawati, 2024). Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar bahkan mencatat empat laporan kekerasan berbasis gender dari kampus negeri dalam dua tahun terakhir (2023-2024) (Emba, 2024).
Rahmasari (2022) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang tidak diinginkan oleh korban, baik secara fisik maupun non-fisik. Sementara itu, Fauzi & Mesra (2024) menjelaskan bahwa bentuk kekerasan ini mencakup pemaksaan tindakan seksual, ucapan bernuansa seksual, hingga kontak fisik yang mengancam. Kekerasan seksual dalam konteks pendidikan umumnya terjadi dalam relasi kuasa yang timpang, seperti antara guru dan siswa, dosen dan mahasiswa, atau senior dan junior. Ketimpangan kekuasaan inilah yang membuat korban seringkali tidak berdaya.
Permasalahan kekerasan seksual tidak berhenti pada tindakan pelaku, tetapi juga mencakup minimnya perlindungan bagi korban. Sistem hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya berpihak pada korban karena banyak dari mereka enggan melapor karena takut, malu, atau khawatir terhadap keselamatan dan reputasi (Sangalang, 2022). Tak jarang, kasus baru terungkap bertahun-tahun setelah kejadian akibat intimidasi dan ketidaksiapan institusi dalam menangani laporan.
Di antara semua jenjang pendidikan, perguruan tinggi tercatat sebagai tempat paling banyak terjadi kekerasan seksual (Wartoyo & Ginting, 2023). Pandangan Foucault dalam Gordon (2018) tentang kekuasaan dan struktur sosial menjelaskan bahwa kekerasan seksual tidak hanya lahir dari niat individu, tetapi juga dari sistem yang memfasilitasi dominasi. Posisi dosen, guru, atau senior seringkali digunakan untuk mengendalikan dan menekan korban.
Kegagalan pendidikan menjadi ruang aman bukan sekadar kesalahan individu pelaku, melainkan cerminan dari kegagalan sistemik yang lebih besar. Tidak cukup hanya menyalahkan pelaku atau meminta korban untuk bersuara, diperlukan tanggung jawab kolektif dari institusi pendidikan, pemerintah, pendidik, dan masyarakat untuk menciptakan perubahan yang nyata dan berkelanjutan.
Langkah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan membutuhkan keterlibatan berbagai pihak:
- Institusi pendidikan: memastikan perlindungan korban dan menindak tegas pelaku.
- Pemerintah: memperkuat regulasi dan mengawasi implementasi kebijakan.
- Tenaga pendidik dan orang tua: menjadi pendamping dan pelindung bagi peserta didik.
- Masyarakat: mencegah normalisasi kekerasan seksual melalui edukasi dan kesadaran kolektif.
Kesimpulan:
kegagalan pendidikan sebagai ruang aman bukanlah peristiwa tunggal, melainkan gejala dari sistem yang cacat secara struktural. Meskipun regulasi telah ada, implementasinya yang lemah dan budaya diam membuat perlindungan terhadap korban tidak maksimal. Sementara itu, pelaku kerap lolos dari sanksi. Ini menuntut reformasi menyeluruh yang berpihak pada korban dan menjunjung keadilan. Secara teoritis, pendekatan pendidikan yang membebaskan dan berpihak pada korban harus diperkuat. Secara praktis, dibutuhkan pelatihan intensif bagi pendidik, pembentukan satgas independen, penyediaan kanal aduan yang aman, serta transformasi budaya di lingkungan kampus dan sekolah.
Daftar Pustaka
CNN Indonesia. (4 Oktober 2024). Kasus Pencabulan di Makassar: Guru SD ke Siswi, Manajer RS ke Staf. (Online: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241004081124-12-1151394/kasus-pencabulan-di-makassar-guru-sd-ke-siswi-manajer-rs-ke-staf). Diakses pada tanggal 1 Juli 2025.
Emba, M. (8 Oktober 2024). LBH Makassar Ungkap 4 Kasus Kekerasan Seksual Terjadi di Kampus Negeri, Terduga Pelaku Dosen. (Online: https://makassar.tribunnews.com/2024/10/08/lbh-makassar-ungkap-4-kasus-kekerasan-seksual-terjadi-di-kampus-negeri-terduga-pelaku-dosen#google_vignette). Diakses pada tanggal 1 Juli 2025.
Fauzi, M. F., & Mesra, R. (2024). Analisa Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan. COMTE: Journal of Sociology Research and Education, 1(3), 99-106.
Gordon, H. (2018). A Foucauldian-Feminist Understanding of Patterns of Sexual Violence in Conflict. The Philosophical Journal of Conflict and Violence, 2(1): 22-40.
Prameswara, D. R., & Firmansyah, H. (2023). Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 10(4), 2102-2113.
Rachmawati, R. (1 Desember 2024). Kasus Dugaan Pelecehan Seksual oleh Dosen di Unhas, Korban Disudutkan Satgas, Pelaku Kini Dinonaktifkan. (Online: https://makassar.kompas.com/read/2024/12/01/113300478/kasus-dugaan-pelecehan-seksual-oleh-dosen-di-unhas-korban-disudutkan-satgas). Diakses pada tanggal 1 Juli 2025.
Rahmasari, R. (2022). Analisa Makna ‘Persetujuan’ dalam Pemendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 terhadap Fenomena Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang Dianggap sebagai Upaya Legitimasi Terhadap Perzinaan. Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan, 3(1), 78-89.
Sangalang, R. S. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam Lingkungan Pendidikan. Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, 7(2), 176-192.
Wartoyo, F. X., & Ginting, Y. P. (2023). Kekerasan Seksual pada Lingkungan Perguruan Tinggi Ditinjau dari Nilai Pancasila. Jurnal Lemhannas RI, 11(1), 29-46.